Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan dalam Participatory Spatial Planning


by Bayu Yanuargi, SSi
  

Postingan ini saya tulis terinspirasi oleh obrolan saya dengan seorang teman yang mengatakan, Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan tidak bisa diterapkan dalam rencana tata ruang participatori melalui WA group. Cukup lama kami berdebat, menikung dan akhirnya saya pun tidak melanjutkan diskusi karena forum di WA sangat tidak mencukupi untuk mengemukakan teori yang saya pegang dan saya ketahui.

Mengenai penggunaan teori kesesuaian lahan dan kemampuan lahan, saya sendiri sudah sangat sering menggunakannya, mulai dari Skripsi saya sendiri tentang Tata Ruang di Kabupaten Nganjuk, lalu penataan ruang di Kota Pagaralam, di Muara Enim dan Tanjung Enim, RTBL di Kota Balikpapan, penataan Basecamp CALTEX di Duri Riau, RTH Indragiri Hilir, RTH Balikpapan, RTH Kota Yogyakarta, dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan pendekatan awal Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan


Apakah Kemampuan Lahan itu, Kemampuan Lahan yang kalo dalam bahasa inggris disebut Land Capability adalah Kemampuan suatu tanah / lahan dalam menopang tipe penggunaan lahan secara permanent, kuncinya adalah mencocokkan (Matching) tipe dan intensitas dari penggunaan lahan dan kemampuan alamnya. (USDA).

Jika kita melihat pada pengertian di atas, maka identifikasi Kemampuan Lahan sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya alam dapat mendukung penggunaan lahan secara optimal. Banyak sekali kasus dimana suatu lahan tidak dapat lagi ditanami tanaman komoditas karena pemakaian pupuk yang berlebihan sehingga lahan menjadi tidak subur lagi. Atau banyak terjadi bencana alam longsor, banjir atau erosi dikarenakan Lahan digunakan diluar kemampuannya atau diluar kapasitasnya.

Jadi sebenarnya identifikasi Kemampuan Lahan TIDAK memberikan justifikasi pada "BOLEH" atau "TIDAK BOLEH" suatu penggunaan lahan, terutama untuk penggunaan lahan yang sudah terjadi (Eksisting). Tetapi Kemampuan Lahan lebih pada PEMBERIAN SOLUSI pada setiap rencana penggunaan lahan atau penggunaan lahan yang telah terjadi agar lahan yang ada tidak tereksploitasi diluar batas kemampuannya sehingga merugikan masyarakat itu sendiri.

Sebagai contoh, suatu Lahan Pertanian terletak pada Klass kemampuan Lahan V, dimana lahan dengan kelas kemampuan V memiliki hambatan yang nyaris tidak bisa diatasi secara teknis. Contoh area yang mudah tergenang saat musim hujan datang karena karakter tanah yang tidak bisa menyerap air dengan cepat, maka bisa dipastikan hasil produksi pertanian tidak akan optimal, sehingga perlu dicarikan solusi agar masyarakat dapat menikmati hasil pertanian dengan optimal dan maksimal. Banyak solusi yang bisa diambil dari situasi tersebut, apakah dari segi perubahan jenis komoditi yang ditanam, sistem irigasi yang diperbaiki, dsb.

Area Pertanian Jagung pada Klass V

Area Rentan Genangan Banjir
Disinilah letak dari PARTICIPATORY PLANNING diletakkan, yaitu untuk mencari solusi dari Kemampuan Lahan yang terbatas. Jangan sampai kita melakukan participatory planning tanpa dasar daya dukung lahan sehingga akhirnya nanti masyarakat akan bertambah sengsara karena justifikasi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Kemampuan Lahannya.

Secara sederhana alur pendekatan Participatory Planning akan seperti ini (SEDERHANA) :


Untuk itu USDA mengklasifikasikan Kemampuan Lahan menjadi 8 Kelas : 



Kelas Kemampuan I : Memiliki sedikit penghambat sehingga sesuai untuk pertanian jangka panjang, dengan sistem penanaman reguler, sedikit sekali faktor penghambat dalam produksi pertanian. Kelas kemampuan lahan ini biasanya terletak pada area datar, drainase yang baik, kepekaan terhadap erosi sangat rendah, responsif terhadap pemupukan baik sehingga tidak memerlukan pupuk yang banyak, iklim dan curah hujan yang cukup.

Kelas Kemampuan II : Memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4) struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.

Kelas Kemampuan III : Mempunyai hambatan berat, walaupun dapat digunakan untuk tanaman semusim. Hambatan: lereng miring dan bergelombang, peka terhadap erosi. Lapisan padas keras, penuh air setelah drainase, kapasitas menahan air rendah, kandungan natrium sedang.

Kelas Kemampuan IV : Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam.

Kelas Kemampuan V : Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.
Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal, (3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.

Kelas Kemampuan VI : Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:
(1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%), 
(2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, 
(4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat), 
(5) daerah perakaran sangat dangkal, atau 
(6) iklim yang tidak sesuai. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.

Kelas Kemampuan VII : Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan yaitu ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti 

(1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau 
(2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.

Kelas Kemampuan VIII :  Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90%  volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air sangat rendah.  Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir.


Melihat dari klassifikasi kemampuan lahan di atas, kita bisa melihat bahwa setiap Kelas Kemampuan Lahan memberikan solusi pada setiap kesesuaian lahannya, jadi sikap antipati terhadap penggunaan analisis Kemampuan Lahan dalam perencanaan Tata Ruang saya rasa tidak masuk akal dan berbahaya.


No comments:

Post a Comment